Posted by : satriyo budi w
Sabtu, 07 September 2013
Bila kamu sedang putus cinta (dari sang pacar tentunya), maka dunia yang
tadinya seindah dalam lukisan akan menjadi abu-abu tak berwarna. Cinta
yang sebelumnya sangat diagungkan akan sekejap mata akan berubah menjadi
objek cacian.
Dan bertebaranlah playboy-playboy cap kadal yang suka mengatakan
cinta kepada wanita. Ia tahu wanita adalah makhluk yang senang dipuji
dan diperhatikan (sepertinya tidak semua, semoga).
Tidak akan lagi aku mengenal cinta. Tidak akan lagi aku mau
berhubungan dengan pria. Semua pria sama. Sama-sama tidak punya
perasaan, selalu mempermainkan wanita.
Wuihh dahsyat sekali kata-katanya. Seakan-akan ada wonder woman baru
yang bermunculan dan merasa tidak membutuhkan pria sama sekali. Padahal
di lain pihak, masih banyak wanita yang sedang menanti pangeran
impiannya hadir. Padahal sejatinya wanita membutuhkan tempat bersandar.
Ya, sehebat apapun wanita secara fisik.
Kemudian menyebarlah kepanjangan dari kata cinta yaitu cerita indah namun tiada arti. Hmmm, really?
Jika cinta itu berwujud, ia pasti akan marah besar. Menjadi kambing
hitam akan kebobrokan zaman. Menjadi alasan demi terciptanya musibah
besar. Menjadi pembenaran untuk sebuah kemaksiatan. Saat senang ia
diingat dan diagungkan. Ketika sedih, ia menjadi korban oleh pelaku yang
merasa dianiaya oleh cinta.
Padahal cinta adalah indah, selalu indah. Cinta itu suci selalu suci dan
hanya hadir pada saat yang suci. Penciptanya saja Maha Indah, Maha
Suci. Lalu mengapa kemudian ciptaanNya menjadi tidak suci dan tidak
indah hanya karena perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab??
Kalau melihat contoh yang “gagal”, bisa saja mengatakan seperti itu.
Bisa saja saya, dia, kalian atau mereka adalah contoh yang gagal. Gagal
yang berarti pernah merasakan cinta yang salah. Pernah menikmati
gula-gula masa pacaran yang sejatinya gula-gula itu hanya semu. Tapi
lebih baik gagal untuk menuju keberhasilan dibanding gagal dengan terus
menerus dan merasa bahwa apa yang dijalani itu benar (meskipun
sebenarnya tidak).
Cukup merasakan setitik pahitnya empedu dan berganti manisnya madu.
Berarti kita memiliki lidah yang berfungsi secara normal. Namun jika
empedu itu tetap terasa nikmat di lidah meskipun berkali-kali kita
meludah namun tetap saja mengecapnya, Maka siapa yang perlu disalahkan?
Apakah sebuah lidah yang hanya anggota tubuh ataukah kita yang menjadi
panglimanya?
Lidah ibarat sebuah cinta. Maka bukan cinta itu yang salah tapi
seseorang (entah siapa). Yang pasti jika ada cerita Romeo dan Juliet
yang kisah cintanya berakhir tragis atau kisah cinta seorang cerdas yang
bernama Qais kepada Laila hingga ia dijuluki Majnun (tidak waras),
bukanlah cinta yang patut dipersalahkan. Sekali lagi bukan. Dan
selamanya bukan.
Jika menilik keindahan cerita Rasulullah Muhammad dengan ibunda
Khadijah, mungkin bisa kita jadikan tauladan. Cinta yang suci (karena
Allah semata). Bukan cinta berdasarkan harta. Bukan cinta yang
menyebabkan seseorang berubah dari raja menjadi budak. Bukan cinta yang
melenakan hingga melalaikan hati. Cinta yang diawali dengan niat hanya
karena Allah. Dan selanjutnya menjadi ibadah-ibadah yang tiada ternilai
oleh dunia. Meskipun kisahnya terkadang tertutupi oleh kisah cinta imaji
mengenai putri salju, Cinderella dan semacamnya yang sudah bisa
merasakan “cinta” tanpa ada ikatan sebelumnya. Yakinlah itu hanya cerita
fiktif dan kita hidup di dunia nyata.
Dalih cinta yang begitu beragam. Cerita cinta yang bertebaran. Jika
tidak benar-benar menelaah, maka akan lebih banyak pembenaran pada cinta
yang salah.
Oh cinta. Kau tak berwujud namun kau adalah impian setiap insan. Karena
dengan cinta semua indah (cinta tanpa nafsu). Dengan cinta semua
bermakna. Dunia damai dengan cinta. Cinta mampu mengubah keterpurukan
menjadi timbunan semangat. Cinta mampu membuat kelemahan menjadi
kekuatan.
Jangan melelahkan diri mencari cinta. Dekati saja dulu Sang Pembuat
Cinta, Sang Pemilik Cinta. Biarkan Dia menghadiahkan kita cinta yang
indah. Insya Allah.
Allahua’lam.
–
Tak bosannya membahas tentang cinta